KALING
Sekitar
tahun 618-906 di Jawa Tengah ada kerajaan bernama Kaling/Holing. Rakyat
tenteram dan hidup makmur. Sejak tahun 674 diperintah oleh seorang raja
perempuan bernama Simo, yang memerintah berdasarkan kejujuran mutlak, sangat
keras dan masingmasing orang mempunyai hak dan kewajiban yang tidak berani
dilanggar. Sebagai contoh: putra mahkota pun dipotong kakinya karena menyentuh
barang yang bukan miliknya di tempat umum.
MATARAM
Lama (Jawa Tengah)
Di
desa Canggal (barat daya Magelang) ditemukan sebuah prasasti berangka tahun
732, berhuruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta. Isi utama
menceritakan tentang peringatan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di
atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya, di sebuah pulau
yang mulia bernama Yawadwipa yang kaya raya akan hasil bumi khususnya padi dan
emas. Mendirikan lingga secara khusus adalah mendirikan kerajaan. Tempat
tepatnya adalah di gunung Wukir desa Canggal. Disini diketemukan sisa-sisa
sebuah candi induk dengan 3 (tiga) candi perwara di depannya. Sayangnya yang
masih tersisa sangat sedikit sekali, dimana lingganya sudah tidak ada dan yang
ada hanya landasannya yaitu sebuah yoni besar sekali, disamping candinya pun juga
sudah tidak berwujud lagi.
Yawadwipa
mula-mula diperintah oleh raja Sanna, sangat lama, bijaksana dan berbudi halus.
Lalu setelah wafat digantikan oleh Sanjaya, anak Sannaha (saudara perempuan
Sanna), raja yang ahli dalam kitab-kitab suci dan keprajuritan, menciptakan
ketenteraman dan kemakmuran yang dapat dinikmati rakyatnya. Dari
prasasti-prasasti para raja yang berturut-turut menggantikannya, Sanjaya
dianggap sebagai Wamsakarta dari kerajaan Mataram dan diakui betapa besarnya
Sanjaya itu bagi mereka sampai abad X.
KANJURUHAN
(Jawa Timur)
Di
desa Dinoyo (barat laut Malang) diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 760,
berhuruf Kawi dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam abad VIII
ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa Kejuron) dengan raja
bernama Dewasimha dan berputra Limwa (saat menjadi pengganti ayahnya bernama
Gajayana), yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan
diresmikan tahun 760. Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli Weda
(agama Siwa). Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah
Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga
(mungkin lambang Agastya).
SANJAYAWAMSA
dan CAILENDRAWAMSA
Kecuali
di desa Canggal, sampai pertengahan abad IX dari keturunan Sanjaya tidak ada lagi
ditemukan prasasti lain, kecuali sesudah itu diketemukan prasasti-prasasti dari
keluarga raja lain, yaitu Sailendrawamsa, antara lain prasasti Kalasan. Dalam
prasasti Kalasan, berhuruf Pra-nagari, berbahasa Sanskerta, berangka tahun 778,
disebutkan bahwa para guru sang raja berhasil membujuk maharaja Tejahpurnapana
Panangkarana/Kariyana Panangkarana untuk mendirikan bangunan suci bagi Dewi
Tara dan sebuah biara untuk para pendeta dalam kerajaan. Selain itu terbukti
bahwa antara keluarga Sanjaya dan keluarga Sailendra ada kerjasama yang erat
dalam hal-hal tertentu. Candi itu bernama Kalasan, di desa Kalasan (sebelah
timur Yogyakarta), yang walau di dalam candi ini saat sekarang kosong, namun
melihat singgasana dan biliknya maka arca Tara dahulu bertahta disini dan besar
sekali, yang diperkirakan dari perunggu.
Menurut
prasasti raja Balitung berangka tahun 907, Tejahpurna Panangkarana adalah Rakai
Panangkaran, pengganti Sanjaya. Kemudian dilanjutkan oleh Rakai Panunggalan,
Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalanga
dan raja Balitung/Rakai Watukura dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu (yang
membuat prasasti). Pada saat pemerintahan Sanjayawamsa berlangsung terus dengan
daerah kekuasaan di bagian utara Jawa Tengah dan beragama Hindu yang memuja
Siwa, terbukti dari sifat candinya (thn 750-850 M), maka pemerintahan
Sailendrawamsa juga berlangsung terus dengan daerah kekuasaan di bagian selatan
Jawa Tengah dan beragama Buda aliran Mahayana yang juga terbukti dari candinya.
Namun kedua wamsa ini bersatu di pertengahan abad IX, yang ditandai adanya
perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani (raja putri dari
keluarga sailendra). Selain candi Kalasan yang didirikan untuk memuliakan agama
Buda, ditemukan juga prasasti dari Kelurak (Prambanan) yang berhuruf Pra-nagari
dan berbahasa Sanskerta, yang berisi tentang pembuatan arca Manjusri
(mengandung Buddha, Dharma dan Sanggha), rajanya bergelar sri
Sanggramadananjaya, dengan bangunan untuk tempat arca yang diperkirakan (tidak
jauh di sebelah utara Prambanan) bernama Candi Siwa.
Samaratungga
adalah pengganti Indra, yang menurut prasasti Karangtengah (dekat Temanggung)
dalam tahun 824 ia membuat candi Wenuwana/Ngawen di sebelah barat Muntilan.
Anehnya, seperti halnya Kalasan, pemberi tanah untuk bangunan tersebut adalah
seorang raja keluarga Sanjaya, yaitu Rakarayan Patapan pu Palar atau Rakai
Garung. Samaratungga digantikan putrinya, Pramodawardhani (yang kemudian
bergelar sri Kahulunnan) yang kawin dengan Rakai Pikatan, pengganti Rakai
Garung. Uniknya, Pramodhawardhani mendirikan bangunan suci Buda (misalnya
kelompok candi Plaosan, pemeliharaan Kamulan/candi Borobudur di Bhumisambhara
yang diperkirakan dibangun oleh Samaratungga), sedangkan Rakai Pikatan
mendirikan bangunan suci Hindu (misalnya kelompok candi Loro Jonggrang).
Sedangkan Balaputra, adik dari Pramodawardhani, setelah pada tahun 856 gagal
merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan, ia melarikan diri ke Suwarnadwipa dan
berhasil menaiki takhta Sriwijaya, dengan agamanya Budha.
SANJAYAWAMSA
Setelah
berhasil menghilangkan kekuasaan keluarga Sailendra, dalam prasasti tahun 856
dikatakan bahwa Rakai sebelum turun tahta mampu menggempur Balaputra yang
bertahan di bukit Ratu Boko. Penggantinya adalah Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi
(tahun 856-886) dengan sebutan sri maharaja dan gelar abhiseka (penobatan raja)
sri Sajjanotsawatungga (menunjukkan bahwa ia penguasa satu-satunya dan juga
berdarah Sailendra). Rakai Kayuwangi menghadapi kesulitan rakyatnya, sebab
selama 3/4 abad Sailendra banyak menghasilkan bangunan-bangunan suci yang megah
dan mewah demi kebesaran raja, yang mengakibatkan lemahnya tenaga rakyat Mataram
dan menekan hasil pertanian.
Pengganti
Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang (tahun 886-898), lalu raja Balitung/Rakai
Watukura yang bergelar sri Iswarakesawotsawatungga (tahun 898- 910), merupakan
raja pertama yang memerintah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini ada
kemungkinan bahwa Kanjuruhan-prasasti Dinoyo ditaklukkan, karena sebutan
rakryan Kanuruhan adalah salah satu jabatan tinggi langsung dibawah raja.
Setelah
Balitung adalah Daksa, yang sebelumnya menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I
Hino (tahun 910-919), kemudian Tulodong dengan gelar sri
Sajanasanmatanuragatuggadewa(tahun 919-924), selanjutnya Wawa yang bergelar sri
Wijayalokanamottungga (tahun 924-929), dan kemudian seorang raja dari keluarga
lain, yaitu Sindok dari Isanawamca yang mana pusat pemerintahan pindah ke Jawa
Timur, tanpa diketahui jelas sebabnya.
ISTANA
(Jawa Timur)
Panggung
sejarah pindah dari Jawa tengah ke Jawa Timur tanpa sebab yang jelas, dengan
rajanya Sindok (929-947). Pemerintahan berlangsung aman dan sejahtera. Sebuah
kitab suci Budha (Sang Hyang Kamahayanikan) yang menguraikan ajaran dan ibadah
agama Budha Tantrayana dapat dihimpun selama Sindok berkuasa, walau ia beragama
Hindu. Ia memerintah bersama permaisurinya bernama Sri Parameswari Sri Wardhani
pu Kbi. Anehnya, sebelum kawin dengan anak Wawa (mungkin) ia tidak menggunakan
gelar raja (sri maharaja rake hino sri Icana Wikramadharmottunggadewa), tetapi
menyebut dirinya rakryan sri mahamantri pu Sindok sang Srisanottunggadewawijaya
(penguasa tertinggi setelah raja).
Penggantinya
yang diketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh Airlangga (dinamakan
prasasti Calcutta, kini disimpan di Indian Museum di Calcutta), yaitu putrinya
sri Icanatunggawijaya yang bersuamikan raja Lokapola. Lalu dilanjutkan oleh
Makutawangsawardhana yang digambarkan sebagai matahari dalam keluarga Istana.
Selanjutnya ia mempunyai anak perempuan bernama Mahendradatta atau Gunapriya
dharmapatni yang bersuamikan raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang
memerintah di Bali. Sri Dharmawangsa Tguh Ananta wikramattunggadewa (tahun
991-1016) adalah pengganti Makutawangsawardhana. Selain berhasil menundukkan Sriwijaya,
iapun sangat besar pengaruhnya di Bali yang dapat dibuktikan dari
prasasti-prasasti Bali yang semula berbahasa Bali dan sejak tahun 989 terutama
sesudah tahun 1022 sebagian besar tertulis dalam bahasa Jawa Kuno.
Disamping
itu pada jamannya, kitab Mahabharata disadur dalam bahasa Jawa Kuno, pun
disusun sebuah kitab hukum Siwasasana pada tahun 991 . Menurut batu Calcutta,
seluruh Jawa bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh raja Wurawari dan
diduga bahwa yang berdiri di belakangnya sebenarnya Sriwijaya. Tapi ada yang
lolos dari kehancuran, yaitu Airlangga, putra Mahendradatta raja Bali, saat ia
berusia 16 tahun yang disertai Narottama bersembunyi di Wonogiri (ikut para
pertapa), yang setelah dewasa kawin dengan sepupunya, anak dari Dharmawangsa.
Makutawangsawardhana
dari Jawa Timur mempunyai putri (Ratu Sang Luhur Sri Gunapriyadharmapatni )
yang memerintah Bali tahun 989 bersama suaminya Sri Dharmodayana Warmadewa.
Disekitar tahun 1010 Mahendradatta meninggal, sehingga Udayana memerintah
sendiri sampai tahun 1022, anak sulungnya bernama Airlangga yang menggantikan
Dharmawangsa memerintah di Jawa Timur dan anak bungsu bernama Anak Wungsu yang
memerintah di Bali yang bernama resmi sri Dharmawangsa wardhana Marakatapangkajasthanot
tunggadewa.
Di
tahun 1019 Airlangga yang dinobatkan oleh para pendeta Buda, Siwa dan Brahmana,
menggantikan Dharmawangsa, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara
Dharmawangsa Airlangga Ananta wikramat tunggadewa. Ia memerintah dengan daerah
hanya kecil saja karena saat kerajaan Dharmawangsa hancur, menjadi
terpecahpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Sejak
tahun 1028 Airlangga mulai merebut kembali daerah-daerah saat pemerintahan
Dharmawangsa, yang bisa jadi juga ada hubungannya dengan kelemahan Sriwijaya
yang baru saja diserang dari Colamandala (1023 dan 1030). Raja-raja yang
ditaklukkan itu adalah Bhisma prabhawa (1028-1029), Wijaya dari Wengker (1030),
Adhamapanuda (1031), seorang seperti raksasa raja perempuan (1032), Wurawari
(1032) dan raja Wengker (1035) yang sempat muncul lagi.
Kemakmuran
dan ketrentaman pemerintahan Airlangga (ia dibantu oleh Narottama/ rakryan
Kanuruhan dan Niti/rakryan Kuningan) yang ibukotanya pada tahun 1031 di Wwatan
Mas dipindahkan ke Kahuripan di tahun 1031, diikuti dengan suburnya seni
sastra, yang antara lain: kitab Arjunawiwaha karangan mpu Kanwa tahun 1030 yang
berisi cerita perkawinan Arjuna dengan para bidadari hadiah para dewa atas
jerih payahnya mengalahkan para raksasa yang menyerang kayangan (kiasan hasil
usaha Airlangga sendiri yang merupakan persembahan penulis kepada raja). Ini
juga pertama kali keterangan wayang dijumpai, walau sebetulnya sudah ada
sebelum Airlangga. Anak perempuan Airlangga yaitu Sanggramawijaya, ditetapkan
sebagai mahamantri i hino (ialah berkedudukan tertinggi setelah raja), setelah
tiba masanya menggantikan Airlangga, ia menolak dan memilih sebagai pertapa.
Maka oleh Airlangga ia dibuatkan sebuah pertapaan di Pucangan (gunung Penanggungan),
dan bergelar Kili Suci. Kepergian putri mahkotanya, dari pada berebut takhta
menyebabkan Airlangga membagi dua kerajaan kepada kedua anak laki-lakinya,
dengan pertolongan seorang brahmana bernama mpu Bharada yang kondang sakti.
Kedua kerajaan itu: Janggala (Singhasari) beribukota Kahuripan dan Panjalu
(Kadiri) ber-ibukota Daha, dimana Gunung Kawi ke utara dan selatan menjadi
batasnya.
Setelah
membagi kerajaan, Airlangga mundur diri dan menjadi pertapa dengan nama resi
Gentayu, meninggal tahun 1049, dimakamkan di Tirtha di lereng timur gunung
Penanggungan dan terkenal sebagai candi Belahan. Tetapi kurang lebih setengah
abad sejak Airlangga mundur dari pemerintahan, tidak ada informasi tentang dua
kerajaan yang dibentuknya itu. Lalu setelah itu hanya Kadiri yang mengisi
sejarah, sedangkan Janggala boleh dibilang tanpa kabar.Airlangga semasa
hidupnya dianggap titisan Wisnu, dengan lancana kerajaan Garudamukha. Sehingga
sebuah arca indah yang disimpan di musium Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu
yang menaiki garuda.
KERAJAAN
KADIRI
Sri
Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu dengan prasasti berangka tahun 1104, menganggap
sebagai titisan Wisnu seperti halnya Airlangga, adalah raja Kadiri yang muncul
pertama di pentas sejarah. Selanjutnya Kameswara (1115-1130), bergelar sri
maharaja rake sirikan sri Kameswara Sakalabhuwanatustikarana
Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, lencana kerajaan berbentuk
tengkorak bertaring yang disebut candrakapala, dan adanya mpu Dharmaja yang
telah menggubah kitab Smaradahana (berisi pujian yang mengatakan raja adalah
titisan dewa Kama, ibukota kerajaan bernama Dahana yang dikagumi keindahannya
oleh seluruh dunia, permaisuri yang sangat cantik bernama sri Kirana dari
Jenggala). Mereka dalam kesusasteraan Jawa terkenal dalam cerita Panji.
Pengganti Kameswara yaitu Jayabhaya (1130-1160), bergelar sri maharaja sri
Dharmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayotunggadewa,
lencananya adalah Narasingha, dikekalkan namanya dalam kitab Bharatayuddha
(sebuah kakawin yang digubah Mpu Sedah di tahun 1157 dan diselesaikan oleh Mpu
Panuluh yang juga terkenal dengan kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya).
Pengganti
selanjutnya yaitu Sarwweswara (1160-1170), lalu Aryyeswara (1170- 1180) yang
memakai Ganesa sebagai lencana kerajaan, kemudian Gandra yang bergelar sri
maharaja sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita
Digjayottunggadewanama sri Gandra. Dari prasasti dibuktikan bahwa Kadiri
mempunyai armada laut. Tahun 1190-1200 diperintah Srngga, bergelar sri maharaja
sri Sarwweswara Triwikramawataranindita Crnggalancana Digwijayat tunggadewa,
dengan lencana kerajaan cangkha (kerang bersayap) di atas bulan sabit. Raja
terakhir yaitu Krtajaya (1200-1222), berlencana Garudamukha, yang riwayat
kerajaannya berakhir dan menyerahkan kepada Singhasari setelah kalah dalam pertempuran
di Ganter melawan ken Arok. Perkembangan kesusasteraan di jaman Kediri sangat
bagus, yang selain kitab-kitab tersebut diatas, beberapa hasil lainnya adalah:
- kitab Lubdhaka dan Wrtasancaya karangan mpu Tanakung;
- kitab Krsnayana karangan mpu Triguna;
- kitab Sumanasantaka karangan mpu Monaguna.
Selain
itu ada beberapa keterangan yang terdapat dalam berita-berita Tionghoa, seperti
di kitab Ling-wai-tai-ta yang disusun Chou K’u-fei di tahun 1178 dan di kitab
Chu-fan-chi oleh Chau-Ju-Kua di tahun 1225, misalnya:
- Orang-orangnya memakai kain sampai dibawah lutut , rambut diurai
- Rumah-rumah bersih dan rapih, lantai berubin hijau dan kuning;
- Pertanian, peternakan, serta perdagangan maju dan kerajaan penuh perhatian;
- Tidak ada hukuman badan, yang bersalah di denda emas;
- Pencuri dan perampok yang tertangkap dibunuh;
- Alat pembayaran adalah mata uang dari emas;
- Orang sakit bukan makan obat tapi mohon sembuh para Dewa dan Buddha;
- Raja berpakaian sutera, sepatu kulit, memakai emas-emasan, rambut disanggul.
- Raja keluar naik gajah atau kereta, diiringi 500-700 prajurit dan rakyat jongkok;
- Raja dibantu 4 menteri, gaji dari menerima hasil bumi/lainnya sewaktu-waktu;
- Selain agama Buda ada agama Hindu;
- Rakyat lekas naik darah dan suka berperang, suka mengadu babi dan ayam;
- Dan lain sebagainya.
KERAJAAN
SINGHASARI
Menurut
cerita di kitab Pararaton dan Nagarakrtagama, raja pertama bernama sri Ranggah
Rajasa Amurwabhumi yang populer dipanggil Ken Arok, adalah anak seorang
Brahmana bernama Gajah Para dengan Ibu bernama Ken Endok dari desa Pangkur,
yang semula berprofesi sebagai pencuri/penyamun yang sangat sakti dan selalu
menjadi buronan alat-alat negara. Atas bantuan seorang pendeta yang
menjadikannya sebagai anak pungut, ia dapat mengabdi kepada seorang akuwu
(setara bupati) yang bernama Tunggul Ametung. Namun akuwu itu kemudian
dibunuhnya dan si janda, Ken Dedes dalam kondisi hamil dikawininya, yang anak
itu nantinya diberi nama Anusapati.
Kemudian
ia mengambil kekuasaan Tumapel dan setelah cukup pengikutnya ia melepaskan diri
dari kerajaan Kadiri, yang kebetulan di Kadiri ada perselisihan antara raja dan
para pendeta, lalu para pendeta itu melarikan diri yang diterima baik dan
dilindungi Ken Arok.
Raja
Krtajaya berusaha menindak Ken Arok, tapi dalam pertempuran di Genter pada
tahun 1222 Ken Arok menang dan menjadi raja Tumapel dan Kadiri, yang ber
Ibukota di Kutaraja. Dari Ken Dedes selain mempunyai anak tiri Anusapati, ia
juga mempunyai anak yang diberi nama Mahisa Wonga Teleng. Sedangkan dari isteri
lain, Ken Umang, ia mempunyai anak yang diberi nama Tohjaya. Dalam tahun 1227
Ken Arok dibunuh anak tirinya, Anusapati, yang menggantikannya sebagai raja.
Lalu untuk mengenang Ken Arok, dibuatkan candi di Kagenengan (sebelah selatan
Singhasari) dalam bangunan suci agama Siwa dan Buda. Sedangkan Ken Dedes yang
tidak diketahui tahun meninggalnya, diperkirakan dibuatkan arca sangat indah
yang diketemukan di Singosari, yaitu arca Prajnaparamita. Anusapati/Anusanatha)
yang memerintah tahun 1227-1248 dengan aman dan tenteram, dibunuh oleh Tohjaya
dengan suatu muslihat, dan untuk itu Anusapati dimuliakan di candi Kidal
(sebelah tenggara Malang). Namun Tohjaya hanya memerintah beberapa bulan,
karena aksi balas dendam dari anak Anusapati yaitu Rangga Wuni. Tohjaya
melarikan diri, namun karena luka-lukanya ia meninggal dunia, dan dicandikan di
Katang Lumbang.
Di
tahun 1248 Rangga Wuni naik takhta dengan gelar sri Jaya Wisnu wardhana, dan
raja Singhasari pertama yang namanya dikekalkan dalam prasasti, dan ia
memerintah bersama sepupunya, Mahisa Campaka (anak dari Mahisa Wonga Teleng),
diberi kekuasaan untuk ikut memerintah dengan pangkat Ratu Angabhaya bergelar
Narasimhamurti. Dikisahkan bahwa mereka memerintah bagai dewa Wisnu dan dewa
Indra. Anak Rangga Wuni, Krtanagara, di tahun 1254 dinobatkan sebagai raja,
namun ia tetap memerintah terus untuk anaknya, sampai dengan wafatnya dalam
tahun 1268 di Mandaragiri, lalu dicandikan di Waleri dalam perwujudannya
sebagai Siwa dan di Jayaghu (candi Jago) sebagai Buddha Amoghapasa.
Yang
menarik, candi Jago berkaki tingkat tiga tersusunsemacam limas berundak-undak
dan tubuh candinya terletak di bagian belakang kaki candi menunjukkan timbulnya
kembali unsur-unsur Indonesia, disamping terlihat pula dari relief reliefnya
dengan pahatan datar, gambar-gambar orang yang mirip wayang kulit Bali saat
ini, dan para kesatriyanya diikuti punakawan (bujang pelawak). Kertanagara,
adalah raja Singhasari yang banyak diketahui riwayatnya dan paling banyak
peristiwanya, dimana sang raja dibantu oleh 3 orang mahamantri (rakryan I hino,
I sirikan dan I halu) dan para menteri pelaksana (rakryan apatih, demung dan
kanuruhan), serta seorang dharmadhyaksa ri kasogatan yang mengurusi keagamaan
(kepala agama Buda) dan seorang pendeta yang mendampingi raja, yaitu seorang
mahabrahmana dengan pangkat sangkhadhara.
Karena
ia bercita-cita meluaskan wilayah kekuasaan, maka ia menyingkirkan tokoh tokoh
yang dianggapnya menentang/menghalangi, yaitu patihnya sendiri bernama Arema/
Raganatha dijadikan adhyaksa di Tumapel yang diganti oleh Kebo Tengah/Aragani,
lalu Banak Wide yang ditugaskan menjadi Bupati Sungeneb (Madura) bergelar Arya
Wiraraja.
Di
tahun 1275 Krtanagara mengirim pasukan ke Sumatera Tengah yang terkenal dengan
nama Pamalayu dan berlangsung sampai tahun 1292, dimana saat pasukan tiba
kembali, Krtanagara sudah tidak ada lagi. Namun prasasti pada alas kaki arca
Amoghapasa yang diketemukan di Sungai Langsat (hulu sungai Batanghari dekat
Sijunjung), diterangkan bahwa di tahun 1286 atas perintah Maharajadhiraja Sri
Krtanagara Wikrama Dharmottunggadewa, sebuah arca Amoghapasa beserta 13 arca
pengikutnya dipindahkan dari bhumi Jawa ke Suwarnabhumi. Atas hadiah ini rakyat
Malayu sangat senang terutama sang raja, yaitu srimat Tribuwanaraja
Maulawarmmadewa.
Kertanagara
dalam tahun 1284 menaklukkan Bali, Pahang, Sunda, Bakulapura (Kalimantan Barat
Daya) dan Gurun (Maluku), sebagaimana diketahui dari Nagarakrtagama. Selain
itu, dengan Campa diadakan persekutuan yang diperkuat dengan perkawinan, sesuai
prasasti Po Sah (di Hindia belakang) yang menuliskan bahwa raja Jaya Simphawarman
III mempunyai dua permaisuri yang salah satunya dari Jawa (mungkin saudara
Kertanagara).
Sejak
tahun 1271 di Kadiri ada raja bawahan, yaitu Jayakatwang yang bersekutu dengan
Wiraraja dari Sungeneb yang selalu memata-matai Kertanagara. Belum kembalinya
pasukan Singhasari dari Sumatra dan adanya insiden dengan Kubilai Khan dari
Tiongkok, atas petunjuk dan nasehat Wiraraja dalam tahun 1292 Jayakatwang
melancarkan serbuan ke Singhasari melalui utara untuk membuat gaduh dan dari
selatan merupakan pasukan induk. Kertanagara mengira serangan hanya dari utara,
maka ia mengutus Raden Wijaya (anak Lembu Ta, cucu Mahisa Campaka) dan
Arddharaja (anak Jayakatwang) untuk memimpin pasukan ke utara., sedangkan yang
dari selatan berhasil memasuki kota dan Karaton, dimana saat itu Krtanagara
sedang minum berlebihan bersama dengan mahawrddhamantri serta dengan para
pendeta terkemuka dan pembesar lain, yang katanya sedang melalukan upacara
Tantrayana, terbunuh semuanya, dimana Krtanagara dimuliakan di candi Jawi sebagai
Siwa dan Budda di Sagala sebagai Jina/Wairocana bersama sang permaisuri
Bajradewi dan di candi Singosari sebagai Bhairawa.
Memang,
sebagaimana Prasasti tahun 1289 pada lapik arca Joko Dolok yang diketemukan di
Surabaya, Krtanagara adalah seorang pengikut setia agama Buda Tantra dan
dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha) yang bergelar Jnanasiwabajra, yaitu
sebagai Aksobhya dimana Joko Dolok itu adalah arca perwujudannya sendiri.
Sedangkan dalam Pararaton dan berbagai Prasasti, setelah wafat dinamakan Siwabuddha,
dimana dalam kitab Nagarakrtagama dikatakan Siwabuddhaloka.
KERAJAAN
MAJAPAHIT
Raden
Wijaya yang sedang mengejar tentara Kediri ke utara terpaksa melarikan diri
setelah tahu Singhasari jatuh, sedangkan Arddharaja berbalik memihak Kadiri.
Dengan bantuan lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang ke Madura, guna
mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb. Atas saran dan
jaminan Wiraraja, Raden Wijaya menghambakan diri ke Jayakatwang di Kadiri, dan
ia dianugerahi tanah di desa Tarik, yang atas bantuan orangorang Madura dibuka
dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.
Sementara
itu tentara Tiongkok sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal berbekal
untuk satu tahun telah mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan
membalas penghinaan Krtanegara terhadap Kubilai Khan. Di sini dimanfaatkan
Raden Wijaya yaitu menggabungkan diri dengan tentara Tiongkok menggempur
Kadiri, yang akhirnya Jayakatwang menyerah. Tapi saat tentara Tiongkok sampai
di pelabuhan untuk kembali, Raden Wijaya menyerang tentara Tiongkok sehingga
banyak meninggalkan korban sambil terus kembali ke Tiongkok. Dengan bantuan
pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya menjadi raja pertama
kerajaan Majapahit bergelar Krtarajasa Jayawardhana (1293-1309), mempunyai 4
(empat) isteri, dimana yang tertua bernama Tribhuwana/Dara Petak dan yang
termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanya lah
berlangsungnya raja-raja Majapahit selanjutnya.
Raden
Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan
pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) menteri yaitu rakryan Rangga
dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi
kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai
Blambangan. Ia wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari
Gayatri berjuluk Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari
Dara Petak yaitu Kalagemet/ Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. Untuk
memuliakannya, Raden Wijaya dicandikan di candi Siwa di Simping yaitu Candi
Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi Buda di Antahpura dalam kota
Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu
arca. Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya
Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.
Kalagemet/Jayanegara
(1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan
Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi
pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia
kepada Krtarajasa. Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak
Krtarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban,
akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi,
anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.
Pemberontakan
kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu
yang ketiga dalam tahun 1316, oleh patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah
Lumajang dan benteng di Pajarakan. Ia pun sekeluarga ditumpas. Pemberontakan
selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki,
sang raja melarikan diri dibawah lindungan penjaga-penjaga istana yang disebut
Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Namun dengan bantuan
pasukanpasukan Majapahit yang masih setia, Gajah Mada dengan Bhayangkarinya
menggempur Kuti, dan akhirnya Jayanegara dapat melanjutkan pemerintahannya.
Jayanegara
wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan
Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai
Amoghasiddhi, dimana candi-candi itu tidak dapat diketahui kembali. Pengganti
selanjutnya yang semestinya Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan hidup
keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama BhreKahuripan
yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi
Jayawisnuwardhani (1328-1360).
Tahun
1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih
Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga
pemberontakan dapat ditumpas.Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya,
bersumpah yang disebut Sumpah Palapa (artinya garam dan rempah-rempah) yaitu :
bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di
bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang Jawa, disebut mutih.
Langkah
pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343 bersama
Adityawarman (putera majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat
sebagai Wrddhamantri bergelar arrya dewaraja pu Adutya), yang pernah
ditaklukkan Krtanagara tapi telah bebas kembali. Lalu Adityawarman ditempatkan
di Malayu sebagai wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya.
Adityawarman
di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal di
tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung (Minangkabau) dan
mengangkat dirinya sebagai maharajadhiraja (1347), meskipun terhadap Gayatri ia
masih tetap mengaku dirinya sang mantri terkemuka dan masih sedarah dengan raja
putri itu. Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun
tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di
tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.
Hayam
Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada
sebagai patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka
mengibarkan panji-panji Majapahit, hubungan persahabatan dengan negara-negara
tetangga berlangsung baik. Sumpah Palapa terlaksana, Majapahit mengalami jaman
keemasan. Alkisah, hanya tinggal Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang
menurut prasasti Batutulis (Bogor) dari tahun 1333 adalah raja Pakwan Pajajaran
(anak dari Rahyang Dewaniskala dan cucu Rahyang Niskalawastu Kancana) yang
belum dapat ditaklukkan majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. Dengan
jalan tipu muslihat akhirnya di tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar
Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan
bubat. Karena perang ini sangat menarik, maka secara khusus diceritakan inti
kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana, seperti dibawah ini.
PERANG
BUBAT (Menurut Kidung Sundayana)
Tersebut
negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh
rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana,
tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh
Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi
sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana
mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian ? Ternyata belum dijumpai
seorang permaisuri.
Konon
ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan
kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah
terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung
Sundayana. Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk
dipundaknya, seluruh Nusantara ada di hadapannya. Tetapi engkau hanya satu
jiwanya yang senantiasa memohon pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya.
Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki
putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.
Setelah
selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda
tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di
kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang
sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan
punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan
darah. Ini diartikan tandatanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak
akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap
berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh
hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari
kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang
berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap
putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak
kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog
antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling
ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara
keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena
bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang
mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat
menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian
inti Kidung Sindanglaya ini.
Sementara
di Jawa Barat telah ada :
- 1030 : Berdirinya kerajaan nafas hindu : Sunda dengan rajanya Sri Jayabupati.
- 1190 : Kerajaan Galuh dengan rajanya Ratu Pusaka
- 1333 : Kerajaan Pajajaran, dengan ibu kota Pakuan. Rajanya Ratu Purnama
Selain
sebagai negarawan, Gajah mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum
yang ia susun sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan
kitab hukum Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta
disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku. Gajah Mada meninggal tahun 1364,
dan digantikan oleh 4 (empat) orang menteri yang berfungsi untuk mengekalkan
negara serta lebih ditujukan kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah.
Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:
- Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi bengawan Solo dan Brantas;
- Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri);
- Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih;
- Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran);
- Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354);
- Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365);
- Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371;
- Kitab Nagarakrtagama yang merupakan kitab sejarah Singhasari dan Majapahit, dihimpun oleh mpu Prapanca di tahun 1365;
- Cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Tantular;
- Habisnya riwayat Sriwijaya di tahun 1377, yang dibinasakan oleh Majapahit.
Hayam
Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek
Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak
perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan
permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur. Wikramawardhana
(1369-1428) dan Wirabhumi di tahun 1401-1406 berperang, yang dikenal dengan
nama perang Paregreg, dimana Wirabhumi terbunuh. Disini Tiongkok mengetahui
bahwa perang saudara itu melemahkan Majapahit, sehingga segera berusaha memikat
daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. Misalnya Kalimantan Barat
yang dalam tahun 1368 telah diganggu oleh bajak laut dari Sulu sebagai alat
dari Kaisar Tiongkok, sejak tahun 1405 tunduk kepada Tiongkok. Juga Palembang
dan Malayu di tahun yang sama, mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan
tidak menghiraukan Majapahit. Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting
yang beragama Islam (1400), juga dianggap majapahit sudah hilang. Demikian
daerah-daerah lainnya, dan ada juga yang masih mengaku Majapahit sebagai
atasannya tetapi dalam prakteknya tidak banyak hubungan dengan pusat. Sehingga
saat Wikramawardhana meninggal di tahun 1428, kerajaan Majapahit yang besar dan
bersatu sudah tidak ada lagi. Ada cerita menarik tentang keadaan kota Majapahit
dan rakyatnya, dari uraian Ma Huan yang asli dari Tiongkok dan beragama Islam
dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, yang ditulis saat mengiringi Cheng-Ho (utusan
kaisar Tiongkok ke Jawa) dalam perjalananya yang ketiga ke daerah-daerah lautan
selatan, antara lain :
- Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata;
- Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga;
- Rakyat memakai kain dan baju;
- Untuk laki-laki mulai usia 3 tahun memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat dari emas, cula badak atau gading;
- Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya;
- Biasa memakan sirih;
- Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu;
- Senang bermain bersama diwaktu terang bulan dengan diserai nyanyian-nyanyian berkelompok dan bergiliran antara golongan wanita dan pria;
- Senang nonton wayang beber (wayang yang setiap adegan ceritanya di gambar di atas sehelai kain, lalu dibentangkan antara dua bilah kayu, yang jalan ceritanya diuraikan oleh Dalang);
- Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari baratdan memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pulaberagama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggalbersama anjing mereka.
Setelah
wafatnya Wikramawardhana di tahun 1429 sampai sekitar 1522 tidak banyak
diketahui tentang Majapahit, sedangkan keterangan dari Pararaton sangat kacau.
Yang nyata, bintang Majapahit yang tadinya mempersatukan Nusantara semakin
suram dan makin pudar, yang ditandai dengan perang saudara antar keluarga raja,
hilangnya kekuasaan pusat di daerah, dan adanya penyebaran agama Islam yang
sejak sekitar tahun 1400 berpusat di Malaka disertai timbulnya
kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit.
Yang
memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu
Suhita (1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. Masa
pemerintahannya ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara
lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang
disusun sebagai punden berundakundak di lereng-lereng gunung ( misalnya Candi
Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung Lawu). Selain itu terdapat pula batu-batu
untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib
yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lainlain.
Suhita
digantikan oleh adik tirinya, Krtawijaya (1447-1451). Kemudian cerita sejarah
dan pergantian raja-rajanya setelah 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti.
dari kitab Pararaton kita kenal raja Raja Suwardhan sebagai pengganti
Krtawijaya, tetapi ia berKaraton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai 1453. Tiga
tahun tanpa raja, lalu dilanjutkan oleh Bre Wengker (1456-1466) bergelar Hyang
Purwawisesa. Di tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandansalas yang nama
aslinya Suraprabhawa dan bernama resmi Singha wikramawardhana, berKaraton di
Tumapel selama 2 (dua) tahun.
Dalam
tahun 1468 ia terdesak oleh Krtabhumi (anak bungsu Rajasa wardhana), yang
kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan
kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474. Di daha ia digantikan
anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil
menundukkan Krtabhumi dan merebut Majapahit di tahun 1474. Menurut prasastinya
di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri, namun
kapan berakhirnya memerintah tidak diketahui. Demikian tentang riwayat
Majapahit semakin gelap, kecuali berita-berita dari Portugis bahwa Majapahit di
tahun 1522 masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke
kerajaan Islam di Demak.
Akan
tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan
Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh
Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639
baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di
pegunungan tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya
dengan memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan
lamanya.
Penerus
Majapahit yang tetap di Majapahit (selain Purbawisesa yang beKaraton di
Kahuripan) adalah Kertabumi/Brawijaya, yang memerintah di tahun 1453-1478.
Tidak diketahui mengenai perjalanan kerajaannya. Namun ia mempunyai salah satu
putra yang bernama raden Patah atau Jin Bun, yang diberi kedudukan sebagi
Bupati Demak. Hanya saja yang menarik, ia mengundurkan diri dan pindah ke
gunung Lawu, lalu masuk agama Islam, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon
dan Noyogenggong sangat menentang kepindahan agamanya. Sehingga, dikenal adanya
semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan
bahwa sekitar 500 tahun kemudian, akan tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi,
yang kalau ditentang, akan menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.
KERAJAAN
DEMAK
Seorang
Bupati putra dari Brawijaya yang beragama Islam disekitar tahun 1500 bernama
raden Patah/Jin Bun/R. Bintoro dan berkedudukan di Demak, secara terbuka memutuskan
ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi, dan atas bantuan
daerah-daerah lain yang telah Islam (seperti Gresik, Tuban dan Jepara), ia
mendirikan kerajaan Islam yang berpusat di Demak. Putra lainnya bernama Bondan
Kejawan/ Lembupeteng di Tarub mengawini Rr. Nawangsih (anak dari hasil
perkawinan antara Joko Tarub dan Rr. Nawangwulan) mempunyai cucu dari anaknya
bernama Kyai Ageng Getas/R. Depok di Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo/Bagus
Songgom/Risang Sutowijoyo/Syeih Abdurrahman. Putra lain dari Brawijaya yang
bernama Lembupeteng juga berkedudukan di Gilimangdangin/Sampang, mempunyai cucu
buyut bernama raden Praseno yang menjadi adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat
I, yang mana putranya yang bernama pangeran Undakan menggantikannya dan bergelar
cakraningrat II, sedang putra yang satunya lagi mempunyai anak yaitu Trunojoyo.
Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun yang kawin dengan Pn.
Dayaningrat mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo/Ki
Ageng Pengging yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh
Siti Jenar.
Ia
akhirnya juga mampu meruntuhkan Majapahit dan sebagai raja Islam pertama
bergelar Sultan Demak ia mencapai kejayaan, tapi sebagai lambang dari tetap
berlangsungnya kerajaan kesatuan Majapahit dalam bentuk baru, semua alat
upacara dan pusaka dibawa ke Demak. Ia wafat di tahun 1518 dan digantikan oleh
putranya bernama Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor bergelar Sultan Demak yang
hanya 3 tahun memerintah karena meninggal. Lalu ia digantikan saudaranya yaitu
pangeran Trenggono bergelar Sultan Demak yang memerintah sampai tahun 1548.
Dalam memerintah Trenggono mampu memperluas kerajaan sampai di daerah Pase
Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana seorang ulama dari Pase bernama
Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan dengan adik raja. Karena
Fatahillah, maka Demak berhasil merebut tempat tempat perdagangan kerajaan
Pajajaran di Jawa Barat yang belum Islam, yaitu Cirebon dan Banten (akhirnya
diserahkan Fatahillah oleh Demak).
Di
tahun 1522 orang Portugis datang ke Sunda Kalapa (Jakarta sekarang) bekerja
sama dengan raja Pajajaran menghadapi Islam, dimana Portugis diijinkan
mendirikan benteng di Sunda Kalapa itu. Lalu di tahun 1527 orang Portugis
datang kembali dimana Sunda Kalapa sudah berubah nama menjadi Jayakarta,
dibawah kekuasaan Fatahillah yang tinggal di Banten, sehingga Portugis kalah
perang dan meninggalkan daerah tersebut. Sedangkan Trenggono sendiri walau
berhasil menaklukkan Mataram dan Singhasari, tapi daerah Pasuruan serta
Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang
tetap Hindu, yang mana di tahun 1548 ia wafat akibat perang dengan Pasuruan.
Kematian
Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama
pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk
pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya
dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang. Tahta
Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang,
sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang
mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati
japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang Arya
Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka
Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono.
Jaka
Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh
Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan
ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan
Islam Demak. Namun menginformasikan kerajaan Demak, kurang komplit kalau belum
menceritakan tentang kedatangan Islam di Jawa dan keberadaan Wali Sanga saat
berkuasanya Demak.
Kedatangan
Islam ke Jawa
Di
Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang
menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti
Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya
kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para
pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga
awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang
berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk
Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.
Sangat
toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di
desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun
1369 (saat Hayam Wuruk memerintah). Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi
bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka
tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi
Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui
pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata
sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di
abad XVI saat kerajaan Demak.
Wali
Sanga (9)
Mereka
yang dianggap sebagai penyiar terpenting yang sangat giat menyebarkan agama
Islam diberi julukan Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9),
yang merupakan dewan Dakwah/Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding
kepercayaan/agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu
yang tinggi dan tenaga gaib. Sehingga mereka selalu dihubungkan dengan tasawwuf
serta sangat kurang dalam pengajaran fiqh ataupun qalam. Mereka tidak hanya
berkuasa dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik.
Menurut
kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah, Wali Sanga berganti susunan orangnya
sebanyak 5 (lima) kali yaitu :
Dewan
I tahun 1404 M :
Syeh
Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur,
wafat di Gresik tahun 1419;
Maulana
Ishaq, asal Samarkan Rusia, ahli pengobatan, dakwah di Jawa lalu pindah dan
wafat di Pasai (Singapura) ;
Maulana
Ahmad Jumadil Kubra, asal Mesir, dakwah keliling, makam di Troloyo - Triwulan
Mojokerto;
Maulana
Muhammad Al Maghrobi, asal Maghrib - Maroko, dakwah keliling, makamnya di
Jatinom Klaten tahun 1465;
Maulana
Malik Isro’il, asal Turki, ahli mengatur negara, dimakamkan di Gunung Santri
antara Serang Merak di tahun 1435;
Maulana
Muhammad Ali Akbar, asal Persia/Iran, ahli pengobatan, dimakamkan di Gunung
Santri tahun 1435;
Maulana
Hasanuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping
masjid Banten Lama;
Maulana
Aliyuddin, asal Palestina, dakwah keliling, dimakamkan tahun 1462 di samping
masjid Banten Lama;
Syeh
Subakir, asal Persia, ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin jahat,
beberapa waktu di Jawa lalu kembali dan wafat di persia tahun 1462.
Dewan
II tahun 1436 M :
Raden
Rahmad Ali Rahmatullah berasal dari Cempa Muangthai Selatan, datang tahun 1421
dan dikenal sebagai Sunan Ampel (Surabaya) menggantikan Malik Ibrahim yang
wafat;
Sayyid
Ja’far Shodiq, asal Palestina, datang tahun 1436 dan tinggal di Kudus sehingga
dikenal sebagai Sunan Kudus, menggantikan malik Isro’il ;
Syarif
Hidayatullah, asal Palestina, datang tahun 1436 menggantikan Ali Akbar yang
wafat.
Dewan
III tahun 1463 M :
Raden
Paku/Syeh Maulana A’inul Yaqin pengganti ayahnya yang pulang ke Pasai, kelahiran
Blambangan, putra dari Syeh Maulana Ishak, berjuluk Sunan Giri dan makamnya di
Gresik;
Raden
Said atau Sunan Kalijaga, putra adipati Tuban bernama Wilatikta, yang
menggantikan Syeh Subakir yang kembali ke Persia;
Raden
Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan
Hasanuddin yang wafat;
Raden
Qosim atau Sunan Drajad kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan
Aliyyuddin yang wafat.
Dewan
IV tahun 1466 M :
Raden
Patah putra raja Brawijaya Majapahit (tahun 1462 sebagai adipati Bintoro, tahun
1465 membangun masjid Demak dan menjadi raja tahun 1468) murid Sunan Ampel,
menggantikan Ahmad Jumadil Kubro yang wafat;
Fathullah
Khan, putra Sunan Gunung jati, menggantikan Al Maghrobi yang wafat.
Dewan
V :
Raden
Umar Said atau Sunan Muria, putra Sunan Kalijaga, yang menggantikan wali yang
telah wafat;
Syeh
Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul
dengan berbagai versi, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi
sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada
pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya
termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan.
Sunan
Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti jenar yang wafat
(bunuh diri atau dihukum mati).
KERAJAAN
PAJANG
JokoTingkir
sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh
Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan salah seorang anak Sultan Prawoto yaitu Arya
Pangiri diangkat menjadi adipati Demak. Selain itu, salah seorang yang paling
berjasa dalam membinasakan Arya Penangsang yaitu Kyai Ageng Pemanahan (putra
dari Kyai Ageng Anis yang mana Anis adalah putra Kyai Ageng Selo) diberi
imbalan daerah Mataram (sekitar kota Gede dekat Yogyakarta) untuk ditinggali,
yang juga membuat namanya lebih dikenal dengan panggilan Kyai Gede Mataram.
Kyai/Ki Ageng Pemanahan dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta
rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, yang usahanya
dilanjutkan oleh sang anak yaitu Sutowijoyo (terkenal sebagai ahli peperangan
yang nantinya ia lebih dikenal bernana Senapati ing Alaga/panglima perang), di
tahun 1575 meninggal. Sedangkan tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir
meninggal, yang mana pangeran Benowo seharusnya menggantikannya ternyata
disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya jadi adipati di Jipang.
Arya
Pangiri diserang oleh Sutowijoyo yang dibantu pangeran Benowo, yang
menghasilkan Sutowijoyo memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi
raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Tapi pengangkatan dirinya
sendiri menjadi raja Mataram memperoleh banyak tantangan, karena politik
ekspansinya. Kecuali Blambangan yang tetap bertahan dan belum Islam sesuai
cita-cita Sutowijoyo, seluruh Jawa termasuk Cirebon dikuasai. Ia yang meninggal
di tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, berhasil meletakkan dasar-dasar
kerajaan Mataram.
KERAJAAN
MATARAM (Islam)
Penggantinya
adalah putranya dari perkawinannya dengan ratu Hadi (putri pangeran Benowo)
yang bernama Mas Jolang, berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar Sultan
Hanyokrowati (1601-1613), yang banyak menghadapi pemberontakan. Kegagalannya
menaklukkan Surabaya walau di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia wafat di
tahun 1613 dan dimakamkan di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang menggantikan
yaitu adipati Martapura yang sakit-sakitan segera digantikan oleh saudaranya
bernama raden Rangsang yang berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646).
Di
bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan
disegani sampai di luar Jawa. Karaton yang semula di Kerta dipindahkan ke
Plered. Musuh bebuyutan Mataram yaitu Surabaya, dapat ditaklukkan.
Sukadana-Kalimantan dapat juga ditundukkan. Madura dibuat tidak berdaya dan
Sultan mengangkat adipati Sampang menjadi adipati Madura yang bergelar pangeran
Cakraningrat I. Akhirnya seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bernaung di bawah
panji-panji Mataram, yang salah satu cara untuk mengikat para adipati adalah
dengan mengawinkan putri-putri Mataram dengan mereka. Malah Sultan sendiri
mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun
Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal Kompeni Belanda yang berada di
Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang tidak mau mengakuinya harus
melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka disusunlah strategi penyerangan.
Saat
Gubernur Jenderal dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil V.O.C.
(Verrenigde Oost- Indische Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram
walau mengalami kegagalan merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan
yang habis, di samping Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong
ikut menyerang.Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan
mempersiapkan perahu-perahu berisi beras di sekitar perairan Batavia serta
membuat gudang-gudang beras di Cirebon dan Krawang. Tapi ia gagal lagi,
pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai penyakit akibat kalahnya
perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda serta gudang-gudang beras yang
dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap pasukan Mataram
wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.
Tanpa
lelah, Sultan Agung melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya mengirim
penduduk Jawa Tengah dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di Krawang
menjadi daerah pertanian serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan
Mataram. Selain itu ia juga bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka
dan orangorang Inggris di Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia
dan pedagangpedagang yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka. Tapi
Saat sedang konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang
ingin berkuasa di Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk
Blambangan yang dapat ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali
dengan Bali. Sementara itu Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan mengalahkan
orang-orang Portugis.
Saat
giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa
disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi
Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan
panglima ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta’at beribadah dan menjadi
contoh dalam kerajinannya dalam sholat Jum’at.
Di
tahun 1633 ia mengadakan tarikh baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan
tahun matahari (1 tahun = 365 hari) menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan
tahun bulan (1 tahun= 354 hari), sesuai tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah
tahun Saka 1555 dan tahun Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula.
Sedangkan untuk memperkokoh dirinya sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan
ke Mekkah dan yang di tahun 1641 kembali dengan membawa para ahli agama untuk
menjadi penasehat Karaton dan memperoleh gelar Sultan ‘Abdul Muhammad Maulana
Matarami.
Pengganti
Sultan Agung adalah Mangkurat Agung/Mangkurat I (1646-1677) atau juga dikenal
sebagai Sunan Seda Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya
digantikan oleh Mangkurat Amral / Mangkurat II (1677-1703), kemudian Mangkurat
Mas/Mangkurat III (1703-1704), seterusnya pangeran Puger/Sunan Pakoeboewono I
(1708-1719), lalu Mangkurat Jawi/Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan
oleh Sunan Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan karaton ke Surakarta
(1745-1749). Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III
(1749-1788), Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian
Belanda terpecah menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah
Sunan Pakoeboewono III, sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri
yang bergelar Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792).
Putra
dari pangeran Mangkunagara (salah satu putra Mangkurat IV) yaitu raden mas Said
atau dikenal dengan julukan pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan
Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia
bersepakat yang mana raden mas Said diberi kekuasaan serupa raja, tapi dengan
beberapa pengecualian.
Ia
bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di
pura Mangkunegaran - Surakarta (1757-1795). Ini, merupakan hasil dari
perjanjian Gianti. Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra
Sultan, selain ada yang menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II
(1792-1812), maka salah satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk
sepadan dengan Surakarta diangkat dan dibentuk pura sejenis Mangkunegaran
dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam I (1812
-1828).
Karya
Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan
1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran, ada pada riwayat /Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul
betul sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya
Mataram.
Sejak
tahun 1945, kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur
menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut
disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton
masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya.
Kemudian di tahun 2000 ini pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan
Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton
Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A.
Paku Alam IX, dengan segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan
pernah punah.
Dalam
budaya jawa ( kejawen ) , penyebutan ” Kakang Kawah Adi Ari-Ari” keberadaannya
masih tersamar. Apalagi di zaman modern sekarang ini. Mitos saudara kembar yang
ghaib ini cenderung di abaikan. Ini konsekuensi dari zaman maju. Dunia material
cenderung meningkat, sedang kaweruh spiritual orang jawa kian gersang. Kita
mencoba untuk memahami kembali Puasa Weton yang bagi orang jawa di percayai
dapat memberikan pencerahan spiritual dengan berbagai mitosnya yang penuh
dengan kesakralan dan religiusitas.
Hakikat
Puasa menurut ” Wulang Reh “.
Sri
Pakubuwono IV telah memberikan wewaler, peringatan, pada anak cucunya untuk
pengekangan nafsu. Peringatan itu tertuang dalam karyannya Serat Wulang Reh,
yang di tulis pada hari ahad kliwon, wunku sungsang, tanggal ke-19, bulan
besar, mongso ke-delapan, windu sancaya dan di beri sengkalan : Tata-guna-Swareng-Nata
( 1735 ).
Ia
bergelar : Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo
Abdur Rahman Sayyidin Panotogomo IV. Nama kecilnya adalah Bandoro Raden Mas
Gusti sumbadyo, Putra Pakubuwono III dengan Kanjeng Ratu Kencana.
Dalam
pupuh II Tembang Kinanthi ia menulis : “Podho Gulangen Ing Kalbu, Ing Sasamita
Amrih Lantip, Ojo pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kesthi, Pesunen
sariraniro , Sudanen dhahar lan guling. (Wahai, asahlah di dalam hatimu biar
tajam menangkap isyarat isyarat ghaib. jangan terlalu banyak makan dan tidur,
kurangilah hal tersebut, cita citakan kaprawiran ” keluhuran budi “, agar bisa
mengekang diri) “.
Inti
yang cepat di tangkap dari wejangan ini menyangkut pada pengendalian diri dan
cara yang harus di tempuh adalah dengan perpuasa.
Hakekat
Puasa adalah pengekangan diri, karena alam duniawi banyak memberi godaan. Silau
dengan kemewahan, apalagi kalau sedang mendapat suka cita yang berlebihan, ”
Maka kaprayitnan batin ( kewaspadaan ) akan terkurangi. Manusia akhirnya akan
terbelenggu nafsunya. Nafsu yang bersumber dari dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment